Friday, 27 February 2015

Arsitektur Gotik

Arsitektur secara umum merupakan seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Arsitektur merupakan jembatan antara tujuan dan bahan. Bahan merupakan kondisi lingkungan sekitar beserta sumber daya yang tersedia untuk pembangunan. Tujuan yang dimaksud adalah kebutuhan manusia akan tempat tinggal yang kondusif. Tujuan lainnya adalah tujuan estetis yaitu merencanakan bangunan yang tidak hanya fungsional namun juga mengandung unsur-unsur keindahan, oleh sebab itu arsitektur bukan hanya merupakan ilmu tetapi juga merupakan seni.

1. Arsitektur Gotik
Menurut Prof. Mr. Ag. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum (1977: 83) Arsitektur Gotik berkembang di Eropa pada abad dua belas sampai enam belas. Gaya merancang yang biasa digunakan untuk merancang gereja ini, merupakan perkembangan dari arsitektur Roman. Arsitektur ini pertama kali berkembang di Prancis, sehingga sering disebut dengan gaya Prancis. Arsitektur Gotik berkembang di berbagai tempat di Eropa sehingga masing-masing daerah memiliki cirinya tersendiri, namun filosofi yang digunakan tetap sama.

Ciri-ciri Umum Arsitektur Gotik
                                                                                                                                      

“Filsafat arsitektur Gotik adalah vertikalisme, transparan dan diafan. Garis vertikal mengungkapkan ciri zaman yang mengarah total pada Yang Maha Tinggi. Dinding-dinding kaca berwarna memperlihatkan cita-cita lepas dari kewadaqan materi/ kehidupan yang fana. Diafan artinya cahaya yang menembus, selaku lambang rahmat Tuhan yang menembus kefanaan hidup manusia untuk meneranginya dengan Nur-Illahi.” (Mangunwijaya, 1988:111)


A. Unsur Vertikalisme


“Maka gereja dibentuk mirip jalan raya perkotaan, dari barat menuju ke timur (arah matahari selaku simbol Sol Christi, Matahari Kudus), dengan langit-langit berlengkung-lengkung bagaikan angkasa, dengan denah berbentuk salib. Seluruh bangunan menghendaki dengan sengaja suatu struktur vertikal, karena pandangan hidup Kristen di masa itu berpendapat, bahwa hanya dunia bakalah yang sejati, dan hanya dimensi vertikal mengarah ke Tuhan-lah yang berlaku.” (Mangunwijaya, 1988:104)

“… tetapi yang menyolok ialah, bahwa gaya ini dilakukan untuk lengkung-lengkung runcing dan lengkung-lengkung bertulang… Bangunan dibuat lebih tinggi dengan lengkung serta tembok yang lebih ramping. Cagak penyambung (lengkung batu yang menyandar pada bagian luar tembok untuk menahan tekanan) memberikan lebih banyak keseimbangan pada susunan kerangka. Sifat yang luwes dan serasi merupakan tanda khas daripada gaya Gothik.” (Pringgodigdo, 1977: 83)

Unsur utama dalam arsitektur Gotik adalah vertikalisme. Vertikalisme menggambarkan pemikiran yang mendominasi pada abad pertengahan yaitu Tuhan yang berkuasa atas seluruh kehidupan, oleh karena itu segala perbuatan manusia hendaknya selalu tertuju kepada Tuhan. Pada gereja-gereja berarsitektur Gotik, unsur ini dapat dikenali dengan mudah melalui atap-atap yang meruncing yang berarti menunjuk kepada Tuhan.


 












Gambar 2.1. Denah dasar Katedral Cologne, Jerman  yang menunjukkan simbol Sol Christi 

Arah, Denah, dan Proporsi
Gereja dengan arsitektur Gotik umumnya dibangun dengan muka menghadap Barat. Arah ini digunakan agar ruang Sakristi yang berisi dengan instrumen-instrumen sakral, yang berada di ujung berlawanan dari muka gereja, menghadap Timur. Sumbu bangunan Timur-Barat ini, mengikuti arah matahari terbit yang dianggap sebagai arah datangnya Kristus.
Bentuk dari denah dasar bangunan berupa salib. Proporsi panjang, lebar, dan tinggi bangunan yang menjadi ciri arsitektur ini adalah bangunan tersebut lebih tinggi dibandingkan lebar, sehingga memberikan kesan ramping. Struktur bangunan yang tinggi perlu didukung dengan dinding-dinding berkolom sebagai penopang. Bangunan yang sangat tinggi memiliki penopang yang disebut cagak penyambung atau disebut flying butress (Lihat gambar 2.2).                                                                                                                                                   






Gambar 2.2. Struktur gereja dengan arsitektur Gotik.

Langit-langit
         Langit-langit pada gereja Gotik berbentuk lengkungan-lengkungan yang menggambarkan angkasa. Lengkungan-lengkungan ini bertemu di suatu titik, membentuk struktur seperti tulang atau dikenal dengan ribbed vault (Lihat gambar 2.3). Selain mengandung unsur vertikalisme, struktur tulang pada langit-langit  juga konsisten dengan filosofi cahaya dalam arsitektur Gotik. Struktur bertulang memfokuskan daya tekan dari berat langit-langit pada dinding bangunan, sehingga memungkinkan pembangunan langit-langit yang tinggi dan lebar tanpa bantuan pilar-pilar besar. Hal ini memberikan kesan ringan dan ramping pada langit-langit yang terbuat dari batu, selain itu, memaksimalkan cahaya yang masuk ke dalam bangunan karena tidak terhalangi pilar-pilar besar.




Gambar 2.3. Ribbed vault

B. Unsur Transparan
         Unsur transparan yang mengarah pada kebebasan materi diwakili dengan banyaknya jendela-jendela yang dihiasi dengan kaca warna-warni. Unsur ini berhubungan dengan unsur cahaya yang menggambarkan rahmat Tuhan. Secara teknis, bangunan yang transparan memungkinkan banyak cahaya untuk masuk, sehingga secara filosofis menggambarkan hubungan manusia yang dekat dan tak terpisahkan dengan Tuhan.
         Jendela berkaca warna-warni selain berfungsi memperindah gereja, terkadang juga digunakan sebagai sarana komunikasi. Beberapa gereja memiliki mosaik kaca warna-warni yang membentuk cerita-cerita dalam Kitab Suci. Hal ini digunakan untuk menyampaikan cerita-cerita Alkitab pada masyarakat awam pada abad pertengahan yang umumnya buta huruf.
C. Unsur Cahaya
         Cahaya dianggap sebagai lambang akan rahmat Tuhan bagi umat manusia. Gereja berarsitektur Gotik berusaha membuat banyak jendela-jendela besar agar lebih banyak cahaya yang masuk.

“…lengkungan berujung yang memberikan sedikit sokongan daripada lengkungan bulat seperti yang dominan digunakan oleh gaya Roma, sehingga bangunan itu membutuhkan lebih sedikit pilar di bagian dalam, dan dengan demikian bisa dibuat jendela-jendela yang jauh lebih besar.” (Collins dan Price, 1999: 111)

        
         Kerangka jendela melengkung dengan ujung meruncing atau dikenal sebagai pointed arch untuk memungkinkan pembuatan jendela yang lebih besar. Hal ini menjadi salah satu ciri khas gereja-gereja yang dibangun dengan arsitektur Gotik.

D. Material


“…mulailah suku-suku kaum Benua Utara yang kini disebut Eropa Barat itu bereksperimen dengan bangunan-bangunan yang ramping dan transparan. Padahal bahan yang dipakai mereka hanyalah batu alam yang hanya memungkinkan penjawaban terhadap daya tekan. Tidak pada daya tarik seperti kayu misalnya” (Mangunwijaya, 1988:104)

No comments:

Post a Comment