Arsitektur secara umum merupakan seni dan ilmu dalam
merancang bangunan. Arsitektur merupakan jembatan antara tujuan dan bahan.
Bahan merupakan kondisi lingkungan sekitar beserta sumber daya yang tersedia
untuk pembangunan. Tujuan yang dimaksud adalah kebutuhan manusia akan tempat
tinggal yang kondusif. Tujuan lainnya adalah tujuan estetis yaitu merencanakan
bangunan yang tidak hanya fungsional namun juga mengandung unsur-unsur
keindahan, oleh sebab itu arsitektur bukan hanya merupakan ilmu tetapi juga
merupakan seni.
1. Arsitektur Gotik
Menurut Prof. Mr. Ag. Pringgodigdo dalam
Ensiklopedi Umum (1977: 83) Arsitektur Gotik berkembang di Eropa pada abad dua
belas sampai enam belas. Gaya merancang yang biasa digunakan untuk merancang
gereja ini, merupakan perkembangan dari arsitektur Roman. Arsitektur ini
pertama kali berkembang di Prancis, sehingga sering disebut dengan gaya
Prancis. Arsitektur Gotik berkembang di berbagai tempat di Eropa sehingga
masing-masing daerah memiliki cirinya tersendiri, namun filosofi yang digunakan
tetap sama.
Ciri-ciri Umum Arsitektur Gotik
“Filsafat
arsitektur Gotik adalah vertikalisme, transparan dan diafan. Garis vertikal mengungkapkan ciri zaman yang mengarah total
pada Yang Maha Tinggi. Dinding-dinding kaca berwarna memperlihatkan cita-cita
lepas dari kewadaqan materi/ kehidupan yang fana. Diafan artinya cahaya yang menembus, selaku lambang rahmat Tuhan
yang menembus kefanaan hidup manusia untuk meneranginya dengan Nur-Illahi.”
(Mangunwijaya, 1988:111)
A. Unsur Vertikalisme
“Maka gereja
dibentuk mirip jalan raya perkotaan, dari barat menuju ke timur (arah matahari
selaku simbol Sol Christi, Matahari
Kudus), dengan langit-langit berlengkung-lengkung bagaikan angkasa, dengan
denah berbentuk salib. Seluruh bangunan menghendaki dengan sengaja suatu
struktur vertikal, karena pandangan hidup Kristen di masa itu berpendapat, bahwa
hanya dunia bakalah yang sejati, dan hanya dimensi vertikal mengarah ke
Tuhan-lah yang berlaku.” (Mangunwijaya, 1988:104)
“… tetapi yang
menyolok ialah, bahwa gaya ini dilakukan untuk lengkung-lengkung runcing dan
lengkung-lengkung bertulang… Bangunan dibuat lebih tinggi dengan lengkung serta
tembok yang lebih ramping. Cagak penyambung (lengkung batu yang menyandar pada
bagian luar tembok untuk menahan tekanan) memberikan lebih banyak keseimbangan
pada susunan kerangka. Sifat yang luwes dan serasi merupakan tanda khas
daripada gaya Gothik.” (Pringgodigdo, 1977: 83)
Unsur utama dalam arsitektur Gotik adalah
vertikalisme. Vertikalisme menggambarkan pemikiran yang mendominasi pada abad
pertengahan yaitu Tuhan yang berkuasa atas seluruh kehidupan, oleh karena itu
segala perbuatan manusia hendaknya selalu tertuju kepada Tuhan. Pada
gereja-gereja berarsitektur Gotik, unsur ini dapat dikenali dengan mudah
melalui atap-atap yang meruncing yang berarti menunjuk kepada Tuhan.
Gambar 2.1. Denah dasar Katedral Cologne, Jerman yang menunjukkan simbol Sol Christi
Arah, Denah, dan Proporsi
Gereja dengan arsitektur Gotik umumnya
dibangun dengan muka menghadap Barat. Arah ini digunakan agar ruang Sakristi
yang berisi dengan instrumen-instrumen sakral, yang berada di ujung berlawanan
dari muka gereja, menghadap Timur. Sumbu bangunan Timur-Barat ini, mengikuti
arah matahari terbit yang dianggap sebagai arah datangnya Kristus.
Bentuk dari denah dasar bangunan berupa
salib. Proporsi panjang, lebar, dan tinggi bangunan yang menjadi ciri
arsitektur ini adalah bangunan tersebut lebih tinggi dibandingkan lebar,
sehingga memberikan kesan ramping. Struktur bangunan yang tinggi perlu didukung
dengan dinding-dinding berkolom sebagai penopang. Bangunan yang sangat tinggi
memiliki penopang yang disebut cagak penyambung atau disebut flying butress (Lihat gambar 2.2).
Gambar 2.2. Struktur gereja dengan
arsitektur Gotik.
Langit-langit
Langit-langit
pada gereja Gotik berbentuk lengkungan-lengkungan yang menggambarkan angkasa.
Lengkungan-lengkungan ini bertemu di suatu titik, membentuk struktur seperti
tulang atau dikenal dengan ribbed vault (Lihat
gambar 2.3). Selain mengandung unsur vertikalisme, struktur tulang pada
langit-langit juga konsisten dengan
filosofi cahaya dalam arsitektur Gotik. Struktur bertulang memfokuskan daya
tekan dari berat langit-langit pada dinding bangunan, sehingga memungkinkan
pembangunan langit-langit yang tinggi dan lebar tanpa bantuan pilar-pilar
besar. Hal ini memberikan kesan ringan dan ramping pada langit-langit yang
terbuat dari batu, selain itu, memaksimalkan cahaya yang masuk ke dalam
bangunan karena tidak terhalangi pilar-pilar besar.
Gambar 2.3. Ribbed vault
B. Unsur Transparan
Unsur
transparan yang mengarah pada kebebasan materi diwakili dengan banyaknya
jendela-jendela yang dihiasi dengan kaca warna-warni. Unsur ini berhubungan
dengan unsur cahaya yang menggambarkan rahmat Tuhan. Secara teknis, bangunan
yang transparan memungkinkan banyak cahaya untuk masuk, sehingga secara
filosofis menggambarkan hubungan manusia yang dekat dan tak terpisahkan dengan
Tuhan.
Jendela
berkaca warna-warni selain berfungsi memperindah gereja, terkadang juga
digunakan sebagai sarana komunikasi. Beberapa gereja memiliki mosaik kaca
warna-warni yang membentuk cerita-cerita dalam Kitab Suci. Hal ini digunakan
untuk menyampaikan cerita-cerita Alkitab pada masyarakat awam pada abad
pertengahan yang umumnya buta huruf.
C. Unsur Cahaya
Cahaya
dianggap sebagai lambang akan rahmat Tuhan bagi umat manusia. Gereja
berarsitektur Gotik berusaha membuat banyak jendela-jendela besar agar lebih
banyak cahaya yang masuk.
“…lengkungan
berujung yang memberikan sedikit sokongan daripada lengkungan bulat seperti
yang dominan digunakan oleh gaya Roma, sehingga bangunan itu membutuhkan lebih
sedikit pilar di bagian dalam, dan dengan demikian bisa dibuat jendela-jendela
yang jauh lebih besar.” (Collins dan Price, 1999: 111)
Kerangka
jendela melengkung dengan ujung meruncing atau dikenal sebagai pointed arch untuk memungkinkan
pembuatan jendela yang lebih besar. Hal ini menjadi salah satu ciri khas
gereja-gereja yang dibangun dengan arsitektur Gotik.
D. Material
“…mulailah
suku-suku kaum Benua Utara yang kini disebut Eropa Barat itu bereksperimen
dengan bangunan-bangunan yang ramping dan transparan. Padahal bahan yang
dipakai mereka hanyalah batu alam yang hanya memungkinkan penjawaban terhadap
daya tekan. Tidak pada daya tarik seperti kayu misalnya” (Mangunwijaya,
1988:104)
No comments:
Post a Comment