“Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck” adalah sebuah novel karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah
atau yang lebih dikenal dengan nama penanya, Hamka. Cerita dalam novel tersebut
pertama kali ditulis sebagai cerita bersambung untuk majalah yang dipimpinnya, “Pedoman
Masjarakat” pada tahun 1938. Barulah pada tahun 1939, kisah ini diterbitkan
menjadi buku. Cerita yang berdasar pada buah pikiran Hamka ini, menjadi salah
satu novel penting dalam eranya yaitu pada angkatan Pujangga Baru. Dengan berlatar
belakang adat dan tradisi Minangkabau yang dikemas dalam roman yang menyentuh
hati, karya ini diakui oleh beberapa kritikus sastra sebagai karya terbaik
Hamka. Sampai sekarang, novel “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” sudah
mengalami 32 kali cetak ulang dengan tebal 236 halaman
Kisah yang termasyhur ini bercerita
tentang seorang pemuda bernama Zainuddin yang dalam hidupnya mengalami banyak
penderitaan akibat terkekang adat dan tradisi serta moral dari masyarakat pada
zamannya yang kurang terpuji. Hidup Zainuddin yang diterjang banyak kemalangan
berawal dari ayahnya yang mencoba melawan keserakahan keluarga besarnya jauh
sebelum ia lahir. Ayahnya, Pandekar Sutan, merupakan ahli waris tunggal dari
harta peninggalan ibunya. Karena adat Minangkabau berdasar pada garis keturunan
ibu, maka sepeninggal ibunya, meskipun harta seharusnya jatuh ke tangan anak,
pihak keluarga perempuan juga ikut mengurus harta tersebut. Singkat cerita,
pecahlah pertengkaran antara Pandekar Sutan dengan mamaknya (panggilan untuk
paman), Datuk Mantari Labih, karena ketamakan mamaknya tersebut memonopoli
harta peninggalan ibunya. Pertengkaran tersebut berujung pada kematian Datuk
Mantari Labih, akibatnya Pandekar Sutan dijatuhi hukuman yaitu diasingkan dari Batipuh, Sumatera Barat ke Cilacap, Jawa
Tengah selama 15 tahun. Dalam masa pembuangannya itu, terjadilah Perang Bone di
Makassar, karena dianggap sebagai orang yang kuat dan berani, ia pun dibawa ke
Makassar. Setelah masa tersebut usai, Pandekar Sutan memilih untuk menetap di
sana daripada pulang ke tanah asalnya. Di Tanah Mengkasar, Ia menikah dengan seorang
wanita keturunan Bugis bernama Daeng Habibah. Dari pernikahannya yang singkat,
ia beroleh seorang anak laki-laki, anak lelaki itulah Zainuddin.
Sembilan bulan setelah kelahiran
Zainuddin, Ibunya meninggal karena suatu penyakit. Beberapa tahun kemudian,
tinggalah ia yatim piatu dengan pengasuhnya, Mak Base yang telah sangat setia
bertahun-tahun mengabdi kepada keluarganya. Karena ingin menyempurnakan
cita-cita ayah bundanya untuk pergi menuntut ilmu yang tinggi di Negeri Padang,
pergilah ia ke tanah kelahiran ayahnya, ke Batipuh, dengan membawa uang sekedar
ongkos kapal. Ia meninggalkan Mak Base, pengasuhnya itu untuk mengelola seluruh
harta peninggalan orangtuanya dan memperniagakannya. Harta tersebut dianggap
oleh Zainuddin sebagai hak milik mereka berdua, sehingga siapa lebih dahulu
meninggal, orang tersebutlah yang akan mewariskan semua harta itu kepada yang
masih hidup.
Sesampainya Zainuddin di Padang, Ia
langsung bertandang ke kediaman bakonya (sebutan untuk keluarga dari pihak
ayah) dan memperkenalkan diri. Awalnya, kedatangannya itu disambut dengan
senang karena rupanya sebagai anak muda yang gagah dan pantas, tetapi seiring
waktu, basa-basi itu lenyap juga. Hal tersebut bukan dikarenakan ketidaksukaan
keluarga kepadanya, pribadinya begitu terpuji, tak bisa orang membencinya,
melainkan akibat latar belakangnya bukan orang Padang asli, sehingga dianggap
sebagai orang jauh, bukan keluarga.
Hayati adalah seorang gadis remaja
putri yang sangat cantik, keturunan keluarga Minangkabau yang dipandang baik.
Perkenalan Zainuddin dan Hayati terjadi waktu Zainuddin menolongnya dengan
meminjamkan payung agar ia bisa pulang ke rumah. Peristiwa inilah yang menjadi
awal inti dari roman menyedihkan yang bertemakan kasih tak sampai lantaran
tembok budaya. Hubungan keduanya bermulai dari ucapan terima kasih Hayati
melalui surat yang dikirimkannya kepada Zainuddin melalui adiknya, Ahmad.
Zainuddin mulai menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Hayati, dan hanya kepada
Hayati, ia dapat mengadukan nasibnya sebagai orang terbuang dan mendapat
kepedulian yang tulus, karena kepedulian yang ia dapat dari keluarganya hanya
kalau-kalau ia mendapatkan kiriman uang bulanan dari Mak Base selain itu habis
perkataan manis untuknya. Awalnya, Hayati hanya merasa kasihan akan penderitaan
yang dialami Zainuddin, tetapi rasa kasihan itu kemudian tumbuh menjadi perasaan
cinta.
Hubungan Zainuddin dan Hayati yang
kian erat kian lama tersiar di dusun tempat mereka tinggal. Percintaan tulus
kedua insan itu menjadi gunjingan dari mulut ke mulut kaum muda, semakin lama
semakin meluas sehingga menjadi rahasia umum. Meskipun keduanya hanya
berkirim-kiriman surat, perbuatan tersebut dianggap tidak pantas, karena mereka
bukan hendak menikah. Datuk (Orang yang dituakan dalam keluarga) dari keluarga
Hayati pun mengusir Zainuddin dari Batipuh karena perbuatannya itu dianggap tak
senonoh dan menyalahi adat, percintaan mereka juga dianggap dapat merusak nama
keluarga dan turun temurun, lantaran Hayati anak keluarga beradat dan
terpandang sedangkan Zainuddin anak orang terbuang, dianggap sah sebagai orang
Minangkabau pun tidak. Karena kecintaannya yang besar akan Hayati, ia pun
setuju untuk pergi dari Batipuh.
Padang Panjang menjadi tujuan
Zainuddin, ia berharap di sana dapat menempuh ilmu lebih tinggi lagi terutama
paham agama dan kesenian karena ia ingin menjadi ahli syair pula. Di tengah
jalan menuju kota tersebut, bertemulah ia dengan Hayati yang datang untuk
mengucapkan perpisahaan. Pada perjumpaan itu, mereka berjanji untuk tetap
saling mencintai dan akan menunggu satu sama lain sampai keduanya bisa menjadi
suami istri. Hubungan mereka juga akan tetap diteruskan walaupun dipisahkan
oleh jarak, surat-menyurat tetap menjadi sarana komunikasi.
Sesuai dengan kebiasaan masyarakat,
setiap tahunnya diadakan pacuan kuda dan pasar malam di kota-kota besar di
Sumatera Barat, salah satunya di Padang Panjang. Karena ingin bertemu dengan
Zainuddin dan melihat pacuan, Hayati pun pergi ke Padang Panjang dan menginap
di rumah temannya, Khadijah yang sering ia kirimi surat. Khadijah memiliki
seorang kakak laki-laki bernama Aziz yang juga tinggal di rumah tersebut. Meskipun
mereka keturunan Minangkabau asli, mereka tidak berpegang teguh pada adat dan
sudah menjalani kehidupan layaknya orang kota. Setelah melihat Zainuddin di
pacuan kuda dan membaca surat Zainuddin kepada Hayati yang isinya
mempertanyakan baju modern yang Hayati pakai, Khadijah menjelek-jelekan
Zainuddin di hadapan Hayati, sehingga membuat Hayati ragu terhadap perasaannya
kepada lelaki itu karena ia sangat percaya dan menghormati sahabatnya tersebut.
Khadijah juga mengatakan bahwa masa depan Hayati bersama Zainuddin tidak akan
baik karena Zainuddin seorang tak punya harta.
Setelah kepulangan Hayati ke
Batipuh, Khadijah mengusulkan kepada keluargannya agar Hayati diperistri Aziz.
Hal ini diterima dengan baik oleh ibu dan kakaknya karena Hayati selain cantik
juga baik budinya, apalagi Aziz terpesona dengan kecantikan Hayati. Khadijah
pun berkirim surat ke Hayati mengatakan bahwa akan ada utusan dari keluarganya
untuk meminta Hayati menjadi istri abangnya.
Sementara itu, Zainuddin mendapatkan
surat dari kerabatnya di Makassar, isinya adalah berita tentang Mak Base,
pengasuhnya telah meninggal dunia. Bersamaan dengan surat itu juga dikatakan
bahwa Zainuddin mendapatkan harta yang lumayan banyak, hasil dari perniagaan
harta ayahnya. Awalnya, ia sangat sedih mendengar kematian ibu angkatnya itu,
tetapi, ia segera bangkit dari kesedihannya setelah mengetahui harta yang
ditinggalkan Mak base bisa digunakannya untuk hidup bersama Hayati. Maka,
ditulislah surat oleh Zainuddin kepada segenap keluarga Hayati menyatakan
keinginannya untuk meminang Hayati, namun, ia tidak menuliskan kondisinya
sekarang yang mendapatkan warisan cukup banyak. Surat tersebut sampai dua hari
setelah utusan keluarga Aziz pulang.
Untuk menyikapi kedua lamaran
tersebut, bermusyawarahlah segenap tua-tua keluarga Hayati. Karena Aziz
merupakan anak seorang Minangkabau yang berpangkat dan termasyhur, punya
pekerjaan baik, dan juga hartanya banyak, maka, pihak keluarga memilih untuk
menerima lamaran Aziz, lagipula Zainuddin hanya menuliskan lamarannya dalam
sebuah surat, sehingga dianggap menyalahi adat yang berlaku. Tidak ingin Hayati
mengecewakan keluarganya, meskipun ia cinta akan Zainuddin, namun terlintas
juga dalam pikirannya nasihat dari Khadijah, oleh karena itu ia setuju dengan
keputusan keluarganya untuk menerima lamaran Aziz.
Surat penolakan lamaran dikirimkan pihak
keluarga Hayati kepada Zainuddin. Isinya mengatakan bahwa lamarannya tak bisa
diterima lantaran negeri Minangkabau beradat. Marah dan sakit hati pun
menguasai pikirannya, sehingga pergilah ia menjelajah negeri Minangkabau
katanya untuk mengobati sakit hati. Bukannya sembuh, malah bertambah lesu
sekembalinya dari perjalanan itu, apalagi ia menerima surat dari Khadijah yang
menyuruhnya untuk menjauhi Hayati karena perempuan itu sudah menerima lamaran
Aziz. Melihat kondisi Zainuddin, maka ibu pemilik rumah di mana Zainuddin
tinggal di Padang Panjang, memperkenalkan ia dengan anaknya, Muluk yang pandai
bergaul dan memberi nasihat hidup.
Muluk mengenal Aziz, Aziz adalah
seorang yang tabiatnya buruk , suka berjudi dan main wanita. Mengetahui hal tersebut, timbullah rasa kasihan
Zainuddin kepada Hayati, ia percaya bahwa wanita itu masih mencintai dirinya
dan memegang teguh janji untuk menunggunya. Maka, ditulislah olehnya surat
kepada Hayati menyatakan kecintaannya akan dia dan keinginannya untuk melindungi
Hayati dari Aziz. Surat tersebut tidak mendapat balasan dari Hayati, sampai
akhirnya surat ketiga dibalas Hayati dengan dingin. Dalam surat tersebut,
Hayati mengatakan bahwa perkawinannya dengan Aziz merupakan pilihannya sendiri
lantaran ia dan Zainuddin keadaannya sama-sama melarat dan bagaimanapun
pernikahan mereka tak dapat dilangsungkan karena perbedaan ras.
Menerima kenyataan bahwa ia tak
dapat merajut masa depan bersama perempuan yang dicintainya, Zainuddin pun
jatuh sakit. Sakit tersebut berlangsung selama dua bulan, dan sering dalam
sakitnya itu ia mengigau nama Hayati. Setelah sembuh dan mendengar nasihat
Muluk, timbulah keinginan Zainudin untuk pergi ke Tanah Jawa mencapai
cita-citanya menjadi seorang ahli sastra. Muluk turut pergi bersamanya dan mereka
menjadi sahabat yang tak terpisahkan.
Sesampainya kedua orang muda itu ke
Jakarta, Zainuddin mulai merintis kariernya di bidang sastra dengan mengirim
karangan-karangan ke surat kabar. Karyanya itu dituliskan dengan nama pena “Z”.
Kepandaiannya menyusun bahasa dan tulisannya yang menyentuh hati, mendapatkan
respon yang sangat baik, sehingga direktur dari suatu surat kabar ingin
mempekerjakannya. Tawaran tersebut ditolak olehnya karena ia tidak ingin
bekerja di bawah tangan orang lain.
Muluk
dan Zainuddin pun meninggalkan Jakarta dan pergi ke Surabaya. Kariernya makin
melambung di kota tersebut. Ketika diketahuinya ada perkumpulan anak-anak
Sumatera, mulailah ia berkarya di situ. Dalam waktu yang singkat, namanya telah
harum, sehingga tidak lama kemudian, atas anjurannya didirikanlah perkumpulan
tonil bernama “Andalas”. Kelompok tersebut tampil berdasarkan karya-karya
sastra yang dikarang Zainuddin.
Melalui
surat yang ditulis Hayati kepada Khadijah, diketahui bahwa awalnya kehidupan
pernikahannya dengan Aziz begitu bahagia karena Aziz merupakan seorang suami
yang baik. Karena pekerjaan Aziz, mereka berdua pindah ke Surabaya. Setelah
kepindahan mereka ke Tanah Jawa, maka mulailah rusak perkawinan kedua orang
itu. Aziz kembali ke tabiat buruknya lantaran sudah bosan dengan Hayati,
seringkali mereka berdua kekurangan karena gaji Aziz lenyap entah ke mana.
Ketidakbahagiaan Hayati dalam perkawinannya, membuatnya rindu kepada cinta
sejatinya, Zainuddin
Suatu
hari sampailah kepada Hayati surat undangan untuk menonton penampilan tonil
dari karya Tuan “Z” atau Tuan Shabir, Zainuddin memang telah mengganti namanya
menjadi Shabir yang artinya tenang dan sabar. Surat tersebut juga disertai
dengan surat undangan untuk bergabung dengan “Klub Anak Sumatera”. Hayati pun
meminta Aziz untuk mengajaknya pergi ke acara itu. Pada acara itu bertemulah
kembali ia dengan Zainuddin yang sekarang keadaannya sudah jauh berbeda.
Terjalinlah
persahabatan antara Aziz, Hayati, dan Zainuddin. Dalam persahabatan itu
seringkali Aziz memanfaatkan kebaikhatian Zainuddin untuk memberinya bantuan
finansial. Perangai buruk Aziz pun semakin menjadi-jadi sampai akhirnya ia
kehilangan rumah beserta seluruh hartanya. Karena budi baiknya, Zainuddin pun
menawarkan tempat tinggalnya untuk menjadi tempat Aziz dan Hayati hidup untuk
sementara. Mendapatkan kebaikan yang begitu banyak dari Zainuddin, membuatnya
merasa tidak layak menjadi suami Hayati. Maka pergilah Aziz ke luar kota, ke
Banyuwangi, katanya untuk mencari pekerjaan, ia meninggalkan Hayati di rumah
Zainuddin agar tidak ikut menderita. Tak berapa lama kemudian, sampailah surat
dari Aziz ke kediaman Zainuddin, menyatakan bahwa ia menggugat cerai Hayati dan
menyerahkan Hayati sepenuhnya ke tangan Zainuddin. Bersama dengan surat itu
terdapat artikel dari Koran harian di Banyuwangi berisi tentang Aziz yang telah
bunuh diri.
Selama
ditinggal Aziz di rumah Zainuddin, kehadiran Hayati tidak terlalu diacuhkan
oleh Zainuddin karena sebagai seorang pria yang baik, tak ingin ia menodai izab
kabul sahabatnya. Sikap Zainuddin membuat Hayati merasa tersingkirkan, apalagi
ia menyadari bahwa ia masih mencintai lelaki itu. Melalui perbincangan dengan
Muluk, Hayati pun mengetahui bahwa Zainuddin sebenarnya menderita di
tengah-tengah kekayaan dan kemashyurannya lantaran cintanya yang tak pernah
sampai kepada Hayati, Zainuddin juga sebenarnya masih cinta akan Hayati namun
perasaan itu dipendamnya rapat-rapat.
Surat
yang dikirim Aziz membuat Zainuddin merasa bimbang. Di satu sisi, ia masih
sangat cinta akan Hayati dan ingin memulai hidup baru dengan wanita itu, di
lain sisi, ia teringat semua penderitaan yang dialami karena penolakan Hayati
kepadanya. Akhirnya, disurulah Hayati pulang ke Padang, meskipun Hayati menolak
keputusan Zainuddin itu karena ia ingin hidup dengannya, tetaplah Zainuddin bersikeras
dengan keputusannya.
Sebelum
Hayati pergi meninggalkan Zainuddin, ia meninggalkan sebuah surat yang
menyatakan perasaannya yang sebenar-benarnya kepada Zainuddin. Dengan berat
hati ditinggalkan pria yang dicintainya itu, diantar oleh Muluk, Hayati juga
meminta gambar Zainuddin untuk dibawanya pergi. Setelah membaca surat dari
Hayati, sadarlah Zainuddin bahwa keputusannya benar-benar salah, ia masih
sangat mencintai Hayati. Zainuddin dan Muluk pun cepat-cepat berangkat ke
Jakarta dengan kereta, berniat menyusul Hayati karena kapal yang
ditumpanginya akan bersinggah di sana
sehingga ia dapat membawanya pulang.
Sesampainya
Zainuddin dan Muluk di Jakarta, tersiarlah berita bahwa Kapal Van der Wijck,
kapal yang ditumpangi Hayati untuk pulang ke Padang, telah tenggelam tanpa
diketahui penyebabnya. Untunglah Hayati termasuk salah seorang penumpang yang
selamat dan dirawat di Lamongan, namun ternyata keadaannya masih kritis. Pergilah
Zainuddin dan Muluk menjenguk Hayati, perawat di Lamongan langsung mengenalinya
karena gambar Zainuddin ada di dalam selendang Hayati sewaktu ia ditemukan.
Karena begitu banyak kehilangan darah dan sarana rumah sakit yang kurang
memadai, tak dapat Hayati mengelak dari maut. Sebelum meninggal, ia berkata
kepada Zainuddin bahwa ia senang apabila kematian menjemputnya sekarang karena
ia sudah tahu Zainuddin masih cinta akan dia. Melihat Hayati tergulai lemas tak
bernyawa di hadapannya, Zainuddin tidak dapat menahan hatinya lagi, begitu
sedihnya sampai-sampai ia pingsan.
Sepeninggalnya
Hayati, Zainuddin menjadi orang yang tertutup. Ia tidak begitu suka lagi
menerima tamu-tamu yang tertarik pada karangannya. Sering dalam kesendiriannya
ia merasa mendengar suara Hayati memanggil-manggil namanya meminta tolong di
dalam Kapal Van der Wijck yang mulai karam. Suatu malam, terdengarlah Zainuddin
merintih kesakitan. Zainuddin memang telah lama sakit karena sakit hati,
perasaan bersalah, dan kekecewaan. Pada malam itu, Muluk langsung datang
menolongnya dengan memanggilkan dokter. Sayangnya, nyawa pengarang termashyur
itu tak dapat diselamatkan. Melalui wasiatnya, ia menyerahkan seluruh karyanya
untuk “Klub Anak Sumatera”, seluruh peninggalan ayah bundanya kepada kerabat di
Makassar, dan semua harta bendanya untuk sahabatnya, Muluk. Untuk memenuhi
permintaan terakhirnya, Zainuddin dikebumikan di samping pusara Hayati, wanita
yang selalu diangan-angankannya sewaktu dirinya masih bernafas.
No comments:
Post a Comment