Friday, 27 February 2015

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

“Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” adalah sebuah novel karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama penanya, Hamka. Cerita dalam novel tersebut pertama kali ditulis sebagai cerita bersambung untuk majalah yang dipimpinnya, “Pedoman Masjarakat” pada tahun 1938. Barulah pada tahun 1939, kisah ini diterbitkan menjadi buku. Cerita yang berdasar pada buah pikiran Hamka ini, menjadi salah satu novel penting dalam eranya yaitu pada angkatan Pujangga Baru. Dengan berlatar belakang adat dan tradisi Minangkabau yang dikemas dalam roman yang menyentuh hati, karya ini diakui oleh beberapa kritikus sastra sebagai karya terbaik Hamka. Sampai sekarang, novel “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” sudah mengalami 32 kali cetak ulang dengan tebal 236 halaman


           
                Kisah yang termasyhur ini bercerita tentang seorang pemuda bernama Zainuddin yang dalam hidupnya mengalami banyak penderitaan akibat terkekang adat dan tradisi serta moral dari masyarakat pada zamannya yang kurang terpuji. Hidup Zainuddin yang diterjang banyak kemalangan berawal dari ayahnya yang mencoba melawan keserakahan keluarga besarnya jauh sebelum ia lahir. Ayahnya, Pandekar Sutan, merupakan ahli waris tunggal dari harta peninggalan ibunya. Karena adat Minangkabau berdasar pada garis keturunan ibu, maka sepeninggal ibunya, meskipun harta seharusnya jatuh ke tangan anak, pihak keluarga perempuan juga ikut mengurus harta tersebut. Singkat cerita, pecahlah pertengkaran antara Pandekar Sutan dengan mamaknya (panggilan untuk paman), Datuk Mantari Labih, karena ketamakan mamaknya tersebut memonopoli harta peninggalan ibunya. Pertengkaran tersebut berujung pada kematian Datuk Mantari Labih, akibatnya Pandekar Sutan dijatuhi hukuman yaitu diasingkan  dari Batipuh, Sumatera Barat ke Cilacap, Jawa Tengah selama 15 tahun. Dalam masa pembuangannya itu, terjadilah Perang Bone di Makassar, karena dianggap sebagai orang yang kuat dan berani, ia pun dibawa ke Makassar. Setelah masa tersebut usai, Pandekar Sutan memilih untuk menetap di sana daripada pulang ke tanah asalnya. Di Tanah Mengkasar, Ia menikah dengan seorang wanita keturunan Bugis bernama Daeng Habibah. Dari pernikahannya yang singkat, ia beroleh seorang anak laki-laki, anak lelaki itulah Zainuddin.
            Sembilan bulan setelah kelahiran Zainuddin, Ibunya meninggal karena suatu penyakit. Beberapa tahun kemudian, tinggalah ia yatim piatu dengan pengasuhnya, Mak Base yang telah sangat setia bertahun-tahun mengabdi kepada keluarganya. Karena ingin menyempurnakan cita-cita ayah bundanya untuk pergi menuntut ilmu yang tinggi di Negeri Padang, pergilah ia ke tanah kelahiran ayahnya, ke Batipuh, dengan membawa uang sekedar ongkos kapal. Ia meninggalkan Mak Base, pengasuhnya itu untuk mengelola seluruh harta peninggalan orangtuanya dan memperniagakannya. Harta tersebut dianggap oleh Zainuddin sebagai hak milik mereka berdua, sehingga siapa lebih dahulu meninggal, orang tersebutlah yang akan mewariskan semua harta itu kepada yang masih hidup.
            Sesampainya Zainuddin di Padang, Ia langsung bertandang ke kediaman bakonya (sebutan untuk keluarga dari pihak ayah) dan memperkenalkan diri. Awalnya, kedatangannya itu disambut dengan senang karena rupanya sebagai anak muda yang gagah dan pantas, tetapi seiring waktu, basa-basi itu lenyap juga. Hal tersebut bukan dikarenakan ketidaksukaan keluarga kepadanya, pribadinya begitu terpuji, tak bisa orang membencinya, melainkan akibat latar belakangnya bukan orang Padang asli, sehingga dianggap sebagai orang jauh, bukan keluarga.
            Hayati adalah seorang gadis remaja putri yang sangat cantik, keturunan keluarga Minangkabau yang dipandang baik. Perkenalan Zainuddin dan Hayati terjadi waktu Zainuddin menolongnya dengan meminjamkan payung agar ia bisa pulang ke rumah. Peristiwa inilah yang menjadi awal inti dari roman menyedihkan yang bertemakan kasih tak sampai lantaran tembok budaya. Hubungan keduanya bermulai dari ucapan terima kasih Hayati melalui surat yang dikirimkannya kepada Zainuddin melalui adiknya, Ahmad. Zainuddin mulai menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Hayati, dan hanya kepada Hayati, ia dapat mengadukan nasibnya sebagai orang terbuang dan mendapat kepedulian yang tulus, karena kepedulian yang ia dapat dari keluarganya hanya kalau-kalau ia mendapatkan kiriman uang bulanan dari Mak Base selain itu habis perkataan manis untuknya. Awalnya, Hayati hanya merasa kasihan akan penderitaan yang dialami Zainuddin, tetapi rasa kasihan itu kemudian tumbuh menjadi perasaan cinta.
            Hubungan Zainuddin dan Hayati yang kian erat kian lama tersiar di dusun tempat mereka tinggal. Percintaan tulus kedua insan itu menjadi gunjingan dari mulut ke mulut kaum muda, semakin lama semakin meluas sehingga menjadi rahasia umum. Meskipun keduanya hanya berkirim-kiriman surat, perbuatan tersebut dianggap tidak pantas, karena mereka bukan hendak menikah. Datuk (Orang yang dituakan dalam keluarga) dari keluarga Hayati pun mengusir Zainuddin dari Batipuh karena perbuatannya itu dianggap tak senonoh dan menyalahi adat, percintaan mereka juga dianggap dapat merusak nama keluarga dan turun temurun, lantaran Hayati anak keluarga beradat dan terpandang sedangkan Zainuddin anak orang terbuang, dianggap sah sebagai orang Minangkabau pun tidak. Karena kecintaannya yang besar akan Hayati, ia pun setuju untuk pergi dari Batipuh.
            Padang Panjang menjadi tujuan Zainuddin, ia berharap di sana dapat menempuh ilmu lebih tinggi lagi terutama paham agama dan kesenian karena ia ingin menjadi ahli syair pula. Di tengah jalan menuju kota tersebut, bertemulah ia dengan Hayati yang datang untuk mengucapkan perpisahaan. Pada perjumpaan itu, mereka berjanji untuk tetap saling mencintai dan akan menunggu satu sama lain sampai keduanya bisa menjadi suami istri. Hubungan mereka juga akan tetap diteruskan walaupun dipisahkan oleh jarak, surat-menyurat tetap menjadi sarana komunikasi.
            Sesuai dengan kebiasaan masyarakat, setiap tahunnya diadakan pacuan kuda dan pasar malam di kota-kota besar di Sumatera Barat, salah satunya di Padang Panjang. Karena ingin bertemu dengan Zainuddin dan melihat pacuan, Hayati pun pergi ke Padang Panjang dan menginap di rumah temannya, Khadijah yang sering ia kirimi surat. Khadijah memiliki seorang kakak laki-laki bernama Aziz yang juga tinggal di rumah tersebut. Meskipun mereka keturunan Minangkabau asli, mereka tidak berpegang teguh pada adat dan sudah menjalani kehidupan layaknya orang kota. Setelah melihat Zainuddin di pacuan kuda dan membaca surat Zainuddin kepada Hayati yang isinya mempertanyakan baju modern yang Hayati pakai, Khadijah menjelek-jelekan Zainuddin di hadapan Hayati, sehingga membuat Hayati ragu terhadap perasaannya kepada lelaki itu karena ia sangat percaya dan menghormati sahabatnya tersebut. Khadijah juga mengatakan bahwa masa depan Hayati bersama Zainuddin tidak akan baik karena Zainuddin seorang tak punya harta.
            Setelah kepulangan Hayati ke Batipuh, Khadijah mengusulkan kepada keluargannya agar Hayati diperistri Aziz. Hal ini diterima dengan baik oleh ibu dan kakaknya karena Hayati selain cantik juga baik budinya, apalagi Aziz terpesona dengan kecantikan Hayati. Khadijah pun berkirim surat ke Hayati mengatakan bahwa akan ada utusan dari keluarganya untuk meminta Hayati menjadi istri abangnya.
            Sementara itu, Zainuddin mendapatkan surat dari kerabatnya di Makassar, isinya adalah berita tentang Mak Base, pengasuhnya telah meninggal dunia. Bersamaan dengan surat itu juga dikatakan bahwa Zainuddin mendapatkan harta yang lumayan banyak, hasil dari perniagaan harta ayahnya. Awalnya, ia sangat sedih mendengar kematian ibu angkatnya itu, tetapi, ia segera bangkit dari kesedihannya setelah mengetahui harta yang ditinggalkan Mak base bisa digunakannya untuk hidup bersama Hayati. Maka, ditulislah surat oleh Zainuddin kepada segenap keluarga Hayati menyatakan keinginannya untuk meminang Hayati, namun, ia tidak menuliskan kondisinya sekarang yang mendapatkan warisan cukup banyak. Surat tersebut sampai dua hari setelah utusan keluarga Aziz pulang.
            Untuk menyikapi kedua lamaran tersebut, bermusyawarahlah segenap tua-tua keluarga Hayati. Karena Aziz merupakan anak seorang Minangkabau yang berpangkat dan termasyhur, punya pekerjaan baik, dan juga hartanya banyak, maka, pihak keluarga memilih untuk menerima lamaran Aziz, lagipula Zainuddin hanya menuliskan lamarannya dalam sebuah surat, sehingga dianggap menyalahi adat yang berlaku. Tidak ingin Hayati mengecewakan keluarganya, meskipun ia cinta akan Zainuddin, namun terlintas juga dalam pikirannya nasihat dari Khadijah, oleh karena itu ia setuju dengan keputusan keluarganya untuk menerima lamaran Aziz.
            Surat penolakan lamaran dikirimkan pihak keluarga Hayati kepada Zainuddin. Isinya mengatakan bahwa lamarannya tak bisa diterima lantaran negeri Minangkabau beradat. Marah dan sakit hati pun menguasai pikirannya, sehingga pergilah ia menjelajah negeri Minangkabau katanya untuk mengobati sakit hati. Bukannya sembuh, malah bertambah lesu sekembalinya dari perjalanan itu, apalagi ia menerima surat dari Khadijah yang menyuruhnya untuk menjauhi Hayati karena perempuan itu sudah menerima lamaran Aziz. Melihat kondisi Zainuddin, maka ibu pemilik rumah di mana Zainuddin tinggal di Padang Panjang, memperkenalkan ia dengan anaknya, Muluk yang pandai bergaul dan memberi nasihat hidup.
            Muluk mengenal Aziz, Aziz adalah seorang yang tabiatnya buruk , suka berjudi dan main wanita. Mengetahui  hal tersebut, timbullah rasa kasihan Zainuddin kepada Hayati, ia percaya bahwa wanita itu masih mencintai dirinya dan memegang teguh janji untuk menunggunya. Maka, ditulislah olehnya surat kepada Hayati menyatakan kecintaannya akan dia dan keinginannya untuk melindungi Hayati dari Aziz. Surat tersebut tidak mendapat balasan dari Hayati, sampai akhirnya surat ketiga dibalas Hayati dengan dingin. Dalam surat tersebut, Hayati mengatakan bahwa perkawinannya dengan Aziz merupakan pilihannya sendiri lantaran ia dan Zainuddin keadaannya sama-sama melarat dan bagaimanapun pernikahan mereka tak dapat dilangsungkan karena perbedaan ras.
            Menerima kenyataan bahwa ia tak dapat merajut masa depan bersama perempuan yang dicintainya, Zainuddin pun jatuh sakit. Sakit tersebut berlangsung selama dua bulan, dan sering dalam sakitnya itu ia mengigau nama Hayati. Setelah sembuh dan mendengar nasihat Muluk, timbulah keinginan Zainudin untuk pergi ke Tanah Jawa mencapai cita-citanya menjadi seorang ahli sastra. Muluk turut pergi bersamanya dan mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan.
            Sesampainya kedua orang muda itu ke Jakarta, Zainuddin mulai merintis kariernya di bidang sastra dengan mengirim karangan-karangan ke surat kabar. Karyanya itu dituliskan dengan nama pena “Z”. Kepandaiannya menyusun bahasa dan tulisannya yang menyentuh hati, mendapatkan respon yang sangat baik, sehingga direktur dari suatu surat kabar ingin mempekerjakannya. Tawaran tersebut ditolak olehnya karena ia tidak ingin bekerja di bawah tangan orang lain.
Muluk dan Zainuddin pun meninggalkan Jakarta dan pergi ke Surabaya. Kariernya makin melambung di kota tersebut. Ketika diketahuinya ada perkumpulan anak-anak Sumatera, mulailah ia berkarya di situ. Dalam waktu yang singkat, namanya telah harum, sehingga tidak lama kemudian, atas anjurannya didirikanlah perkumpulan tonil bernama “Andalas”. Kelompok tersebut tampil berdasarkan karya-karya sastra yang dikarang Zainuddin.
Melalui surat yang ditulis Hayati kepada Khadijah, diketahui bahwa awalnya kehidupan pernikahannya dengan Aziz begitu bahagia karena Aziz merupakan seorang suami yang baik. Karena pekerjaan Aziz, mereka berdua pindah ke Surabaya. Setelah kepindahan mereka ke Tanah Jawa, maka mulailah rusak perkawinan kedua orang itu. Aziz kembali ke tabiat buruknya lantaran sudah bosan dengan Hayati, seringkali mereka berdua kekurangan karena gaji Aziz lenyap entah ke mana. Ketidakbahagiaan Hayati dalam perkawinannya, membuatnya rindu kepada cinta sejatinya, Zainuddin
Suatu hari sampailah kepada Hayati surat undangan untuk menonton penampilan tonil dari karya Tuan “Z” atau Tuan Shabir, Zainuddin memang telah mengganti namanya menjadi Shabir yang artinya tenang dan sabar. Surat tersebut juga disertai dengan surat undangan untuk bergabung dengan “Klub Anak Sumatera”. Hayati pun meminta Aziz untuk mengajaknya pergi ke acara itu. Pada acara itu bertemulah kembali ia dengan Zainuddin yang sekarang keadaannya sudah jauh berbeda.
Terjalinlah persahabatan antara Aziz, Hayati, dan Zainuddin. Dalam persahabatan itu seringkali Aziz memanfaatkan kebaikhatian Zainuddin untuk memberinya bantuan finansial. Perangai buruk Aziz pun semakin menjadi-jadi sampai akhirnya ia kehilangan rumah beserta seluruh hartanya. Karena budi baiknya, Zainuddin pun menawarkan tempat tinggalnya untuk menjadi tempat Aziz dan Hayati hidup untuk sementara. Mendapatkan kebaikan yang begitu banyak dari Zainuddin, membuatnya merasa tidak layak menjadi suami Hayati. Maka pergilah Aziz ke luar kota, ke Banyuwangi, katanya untuk mencari pekerjaan, ia meninggalkan Hayati di rumah Zainuddin agar tidak ikut menderita. Tak berapa lama kemudian, sampailah surat dari Aziz ke kediaman Zainuddin, menyatakan bahwa ia menggugat cerai Hayati dan menyerahkan Hayati sepenuhnya ke tangan Zainuddin. Bersama dengan surat itu terdapat artikel dari Koran harian di Banyuwangi berisi tentang Aziz yang telah bunuh diri.
Selama ditinggal Aziz di rumah Zainuddin, kehadiran Hayati tidak terlalu diacuhkan oleh Zainuddin karena sebagai seorang pria yang baik, tak ingin ia menodai izab kabul sahabatnya. Sikap Zainuddin membuat Hayati merasa tersingkirkan, apalagi ia menyadari bahwa ia masih mencintai lelaki itu. Melalui perbincangan dengan Muluk, Hayati pun mengetahui bahwa Zainuddin sebenarnya menderita di tengah-tengah kekayaan dan kemashyurannya lantaran cintanya yang tak pernah sampai kepada Hayati, Zainuddin juga sebenarnya masih cinta akan Hayati namun perasaan itu dipendamnya rapat-rapat.
Surat yang dikirim Aziz membuat Zainuddin merasa bimbang. Di satu sisi, ia masih sangat cinta akan Hayati dan ingin memulai hidup baru dengan wanita itu, di lain sisi, ia teringat semua penderitaan yang dialami karena penolakan Hayati kepadanya. Akhirnya, disurulah Hayati pulang ke Padang, meskipun Hayati menolak keputusan Zainuddin itu karena ia ingin hidup dengannya, tetaplah Zainuddin bersikeras dengan keputusannya.
Sebelum Hayati pergi meninggalkan Zainuddin, ia meninggalkan sebuah surat yang menyatakan perasaannya yang sebenar-benarnya kepada Zainuddin. Dengan berat hati ditinggalkan pria yang dicintainya itu, diantar oleh Muluk, Hayati juga meminta gambar Zainuddin untuk dibawanya pergi. Setelah membaca surat dari Hayati, sadarlah Zainuddin bahwa keputusannya benar-benar salah, ia masih sangat mencintai Hayati. Zainuddin dan Muluk pun cepat-cepat berangkat ke Jakarta dengan kereta, berniat menyusul Hayati karena kapal yang ditumpanginya  akan bersinggah di sana sehingga ia dapat membawanya pulang.
Sesampainya Zainuddin dan Muluk di Jakarta, tersiarlah berita bahwa Kapal Van der Wijck, kapal yang ditumpangi Hayati untuk pulang ke Padang, telah tenggelam tanpa diketahui penyebabnya. Untunglah Hayati termasuk salah seorang penumpang yang selamat dan dirawat di Lamongan, namun ternyata keadaannya masih kritis. Pergilah Zainuddin dan Muluk menjenguk Hayati, perawat di Lamongan langsung mengenalinya karena gambar Zainuddin ada di dalam selendang Hayati sewaktu ia ditemukan. Karena begitu banyak kehilangan darah dan sarana rumah sakit yang kurang memadai, tak dapat Hayati mengelak dari maut. Sebelum meninggal, ia berkata kepada Zainuddin bahwa ia senang apabila kematian menjemputnya sekarang karena ia sudah tahu Zainuddin masih cinta akan dia. Melihat Hayati tergulai lemas tak bernyawa di hadapannya, Zainuddin tidak dapat menahan hatinya lagi, begitu sedihnya sampai-sampai ia pingsan.

Sepeninggalnya Hayati, Zainuddin menjadi orang yang tertutup. Ia tidak begitu suka lagi menerima tamu-tamu yang tertarik pada karangannya. Sering dalam kesendiriannya ia merasa mendengar suara Hayati memanggil-manggil namanya meminta tolong di dalam Kapal Van der Wijck yang mulai karam. Suatu malam, terdengarlah Zainuddin merintih kesakitan. Zainuddin memang telah lama sakit karena sakit hati, perasaan bersalah, dan kekecewaan. Pada malam itu, Muluk langsung datang menolongnya dengan memanggilkan dokter. Sayangnya, nyawa pengarang termashyur itu tak dapat diselamatkan. Melalui wasiatnya, ia menyerahkan seluruh karyanya untuk “Klub Anak Sumatera”, seluruh peninggalan ayah bundanya kepada kerabat di Makassar, dan semua harta bendanya untuk sahabatnya, Muluk. Untuk memenuhi permintaan terakhirnya, Zainuddin dikebumikan di samping pusara Hayati, wanita yang selalu diangan-angankannya sewaktu dirinya masih bernafas.

No comments:

Post a Comment